Siapa yang tidak ingin rumah tangga yang bahagia?. Setiap pasangan suami istri pasti menginginkan hidup yang rukun dan bahagia. Agar terciptanya kebahagiaan tersebut, kedudukan keduanya harus seimbang. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban setara. Istri harus menyadari perannya sebagai istri, begitupun suami yang harus menyadari perannya sebagai suami.
Namun, bagaimana jika istri justru berperan lebih dominan? Apakah istri yang mendominasi akan mempengaruhi peran suami yang seharusnya lebih tinggi dalam rumah tangga?.
Menurut psikolog, banyak juga suami yang mendukung istrinya lebih dominan dalam artian menyerahkan semua urusan kepada istri. Sebaliknya, istri pun senang melakukan banyak pekerjaan. Jika si istri merasa kewalahan akan tugasnya, dirinya juga akan meminta bantuan suami.
Banyak hal yang menyebabkan istri dikatakan lebih dominan. Salah satunya karena pola pikir masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistik, yaitu suami harus menjadi kepala keluarga sehingga suamilah yang seharusnya lebih dominan.
Nah, bila konsep tersebut terbalik, hal itu akan dianggap janggal dan suami dikatakan “suami-suami takut istri”. Padahal itu tergantung kebutuhan masing-masing keluarga.
Bila istri lebih dominan, kebanyakan suami akan merasa tersiksa dan merasa tidak dianggap oleh istrinya. Suami menganggap istrinya mengambil alih kekuasaan, sehingga ia tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini akan membuat komunikasi suami istri menjadi terhambat dan semua hal kecil pun akan menjadi permasalahan karena sering terjadi perbedaan persepsi.
Buruknya komunikasi, bila dibiarkan terlalu lama, suami juga akan menjadi pribadi yang cuek. Dia berpikir semua hal bisa dilakukan oleh istri tanpa campur tangan dirinya. Suami menjadi pasif namun agresif. Jadi dibalik cueknya, ada perasaan marah, tertekan, dan kesal sehingga ia acuh dalam semua hal dan tidak mau ambil pusing.
Dampak yang paling buruk adalah perkembangan anak menjadi terganggu. Seorang istri yang selalu membantu mengerjakan semua hal, membuat anak tumbuh menjadi seorang yang tidak bisa mandiri. Anak juga akan lebih menganggap ibunya dan cenderung meremehkan si ayah. Akibatnya, wibawa ayah tidak ada lagi di mata anak.
Pada dasarnya anak adalah peniru, bila ibu dan ayahnya sudah tidak dalam satu kubu, ini akan berpengaruh kepada kepribadiannya. Anak laki-laki akan meniru sikap si ayah yang submissive dan anak perempuan akan meniru sikap ibunya yang lebih dominan. Anak akan berontak karena merasa tidak nyaman tinggal di rumahnya sendiri. Lantas, siapa yang harus disalahkan?
Jika sudah terlanjur terjadi, suami dan istri harus saling introspeksi diri dan istri harus berani mengajak suami berdiskusi. Sebaiknya, ada rapat keluarga minimal 2 minggu sekali agar tidak terjadi misskomunikasi. Keluarkan semua unek-unek dan selesaikan secara bijaksana. Buatlah komitmen antara suami dan istri hingga hal kecil sekalipun.
Tidak masalah, asal semua dilakukan atas kesepakatan/musyawaran sebelumnya dengan pemikiran yang benar-benar matang. Jangan sampai baik suami ataupun istri menjadi lupa akan tanggung jawabnya masing-masing. Walau bagaimanapun, suami adalah kepala rumah tangga dalam arti pemimpin, dan istri harus berbakti kepada suami.
Jangan karena kita sebagai wanita mampu melakukan semuanya, membuat diri menjadi meremehkan suami? jangan yah. Kewajiban kita sebagai wanita (istri) adalah tetap berbakti ^_^. Semoga bermanfaat.